Kamis, 19 Desember 2019

Model Pelibatan Masyarakat melalui Komite Sekolah dan Organisasi



TUGAS MANAJEMEN HUMAS
MODEL PELIBATAN MASYARAKAT MELALUI KOMITE SEKOLAH DAN ORGANISASI LAINNYA
OLEH:
KELOMPOK 2
ASHAR ZAINI
MINCERIANTI
NURFADILAH
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM 5 SEMESTER 5
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE
A.  Komite Sekolah
Menurut Djam’an Satori (2001), sebagai konsekuensi untuk mengakomodasi aspirasi, harapan dan kebutuhan stakeholder sekolah, maka perlu dikembangkan adanya wadah untuk menampung dan menyalurkannya. Wadah tersebut berfungsi sebagai foum di mana representasi para stakeholder sekolah terwakili secara proporsional. Dalam berbagai dokumen yang ada dan konsensus yang telah muncul dalam berbagai forum, wadah ini diberi nama Komite Sekolah. Badan sejenis ini di Autralia disebut “School Council”.
Dalam pengertian lain, Djam’an Satori menyebutkan bahwa komite sekolah merupakan suatu badan yang berfungsi sebagai forum resmi untuk mengakomodasikan dan membahas hal-hal yang menyangkut kepentingan kelembagaan sekolah. Hal-hal tersebut meliputi:
1.      Penyusunan perencanaan strategi sekolah, yaitustrateg pengembangan ekolah dalam perspektif 3-4 tahun mendatang. Dalam dokumen ini juga dibahas visi dan misi sekolah, analisis posisi untuk mengkaji kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan yang hadapi, kajian isu-isu strategi sekolah, perumusan program-program, perumusan strategi pelaksanaan program, cara pengendalian dan evaluasinya.
2.      Penyusunan perencanaan tahunan sekolah, yang merupakan elaborasi dari perencanaan strategi sekolah. Dalam perencanaan tahunan ini yang  dibahas adalah program-program operasional yang merupakan implementasi program prioritas yang dirumuskan dalam perencanaan strategi sekolah yang disertai perencanaan anggarannya.
3.      Mengadakan pertemuan untuk menampung dan membahas berbagai kebutuhan, masalah, aspirasi serta ide-ide yang disampaikan oleh anggota komite sekolah. Hal-hal tersebut merupakan refleksi kepedulian para stakeholder sekolah terhadap berbagai aspek kehidupan sekolah yang ditujukan pada upaya-upaya perbaikan, kemajuan dan pengembangan sekolah.
4.      Memikirkan upaya-upaya untuk memajukan sekolah, terutama yang menyangkut kelengkapan fasilitas sekolah, fasilitas pendidikan, pengadaan biaya pendidikan bagi pengembangan keunggulan kompetitif dan komperatif sekolah sesuai denga aspirasi stakeholder sekolah. Perhatian terhadap masalah ini dimaksudkan agar sekolah setidak-tidaknya memenuhi standar pelayanan minimum.
5.      Mendorong sekolah untuk melakukan internal monitoring (School self-assesment) dan melaporkan hasilnya untuk dibahas dalam forum komite sekolah.
6.      Membahas hasil-hasil terstandar yang dilakukan oleh lembaga/institusi eksternal dalam upaya menjaga jaminan mutu (quality assurance) serta memelihara kondisi pembelajaran sesuai dengan tuntutan standar minimun kompetensi siswa (basic minimum competency) seperti yang diatur dalam PP No.  25 tahun 2000.
7.      Membahas laporan tahunan sekolah sehingga memperoleh penerimaan komite sekolah. Laporan tahunan sekolah tersebut selanjutnya disampaikan kepada Kantor Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten/Kota.
8.      Review sekolah merupakan kegiatan penting untuk mengetahui keunggulan suatu sekolah disertai analisis kondisi-kondisi pendukungnya, atau sebaliknya untuk mengetahui kelemahan-kelemahan sekolah disertai analiss faktor-faktor penyebabnya. Review sekolah merupakan media untuk saling mengisi pengalaman dan sekaligus saling belajar antarsekolah dalam upaya meningkatkan kinerjanya masing-masing.
9.      Memantau kinerja sekolah, yang meliputi manajemen sekolah, kepemimpinan kepala sekolah, mutu belajar-mengajar termasuk kinerja mengajar guru, hasil belajar siswa, disiplin dan tata tertib sekolah, prestasi sekolah, baik dalam aspek intra maupun ektrakurikuler.[1]
Kelahiran Kepemendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah merupakan penjabaran dari UU  Nomor 25 Tahun 1999 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004. Kepemendiknas Nomor 044/U/2002 inilah yang menjadi acuan dalam proses pembentukan Komite Sekolah.
Delapan butir acuan pembentukan Dewan pendidikan dan Komite sekolah tersebut meliputi ketentuan sebagai berikut:
1.      Pengertian, nama, dan ruang lingkup
2.      Kedudukan dan sifat
3.      Tujuan
4.      Peran dan fungsi
5.      Organisasi
6.      Pembentukan
7.      Tata hubungan antarorganisasi
8.      Penutup.[2]
B.  Membentuk Paguyuban Orang Tua Siswa
Pembentukan paguyuban orang tua siswa (sebut saja dengan POS) dilakukan di banyak sekolah yang telah secara luas menerapkan konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), PSM (Peran Serta Masyarakat), dan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Penerapan konsep ini disosialisasikan oleh proyek MBE (Managing Basic Education), yang memperoleh anggaran dari USAIDS (bantuan Amerika Serikat).
Pembentukan POS, atau apapun namannya, ini secara khusus berkaitan dengan penerapan konsep PSM dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Keberadaan POS ternyata justru mendukung Komite Sekolah, karena POS ini merupakan paguyuban orang tua siswa dari masing-masing kelas, yang notabene menjadi representasi dari orang tua siswa yang akan duduk sebagai pengurus atau anggota Komite Sekolah. Salah satu elemen Komite Sekolah adalah orang tua siswa, yang dalam hal ini menjadi elemen utama dari Komite Sekolah, yang akan ikut mengambil bagian dalam proses pemilihan Komite Sekolah. Tentu saja, masih ada elemen lain dalam Komite Sekolah antara lain tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, LSM pendidikan, dan elemen masyarakat dunia usaha dan industri (DUDI).
Proses pembentukan POS setiap tahun pelajaran baru, semua orang tua siswa selalu mengkuti acara pertemuan yang diadakan oleh sekolah. Proses pembentukan POS dapat dilakukan bersamaan dengan acara ini, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, setelah acara pertemuan selesai, semua orang tua siswa dari masing-masing kelas dapat mengadakan pertemuan sendiri secara cepat. Minimal mereka saling kenal terlebh dahulu. Dengan demikian secara alami biasanya akan muncul beberapa orang tua siswa sebagai tokoh dan promotornya. Bisa saja terjadi, dalam perencanaan pertemuan awal ini telah dapat dibentuk pengurusnya. Tetapi, pada umumnya tahap ini masih merupakan tahap penjajakan untuk melakukan langkah-langkah lebih lanjut.
Kedua, pertemuan selanjutnya biasanya akan diadakan di rumh orang tua siswa, untuk membahas langkah lebih lanjut. Jika dalam pertemuan pertama telah dibentuk kepengurusannya, maka dalam pertemuan ini akan dibahas program jangka pendek dan jangka panjang untuk membantu sekolah. Mungkin saja, kepengurusan POS ini akan dlengkapi. Atau dalam pertemuan ini dibahas juga tentang kaitannya dengan representasi mereka dalam Komite Sekolah, bahkan akan memberikan masukan tentang kriteria pengurus dan anggota Komite Sekolah.
Ketiga, agenda pertemuan POS dapat ditentukan sebulan sekali. Agenda  pertemuan ini biasanya akan terkait dengan pembicaraan mengenai tugas piket untuk hadir ke sekolah, atau membicarakan iuran anggota POS, atau membahas langkah apa yang harus dilakukan untuk membantu orangtua siswa yang masuk dalam kategori tidak mampu. Uniknya, salah satu agenda kegiatan POS ini adalah dapat membantu guru untuk membuat media dan alat peraga pendidikan.
Keempat, mengadakan agenda pertemuan untuk membuat laproan pertanggungjawaban POS yang akan disampaikan kepada sekolah dan masyarakat.
Kegiatan POS sebagai berikut:
1.      Mengatur piket orang tua siswa yang harus hadir setiap hari di sekolah, untuk mendukung guru kelas dalam pelaksanaan proses belajar mengajar.
2.      Membantu untuk memenuhi kebutuhan guru kelas, antara lain berupa media dan alat peraga, yang terkait dengan proses pengajaran dan pembelajaran.
3.      Menyampaikan gagasan akan mengadakan kegiatan ekstrakurikuler peserta didik.
4.      Ikut membantu orang tua siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh salah seorang siswa di kelas yang bersangkutan.
5.      Menjadi representasi orang tua siswa yang akan duduk dalam kepengurusan dan keanggotaan Komite Sekolah.[3]
C.  Pesta Awal Tahun Pelajaran (The First Day Festival)
Festival Hari Pertama Sekolah memang belum bisa diadakan di Indonesia. Acara seperti ini memang mungkin masih dipandang hanya membuang-buang waktu saja, atau bahkan masih dianggap aneh oleh sekolah. Dalam hal ini terkait dengan prinsip ‘manusia bisa karena biasa’. Kebiasaan yang dilakukan di sekolah pada setiap awal tahun pelajaran adalah pertemuan orang tua siswa. Tujuan kedua kegiatan ini sebenarnya sama, yaitu untuk menjalin hubungn dengan kerja sama antara sekolah dengan keluarga. Kegiatan Festival Hari Pertama Sekolah mungkin lebih luas sedikit, karena masyarakat luas ikut dilibatkan dalam kegiatan ini. Misalnya, tokoh masyarakat, dunia usaha dan dunia industri dilibatkan dalam kegiatan ini.
Melalui acara ini semua siswa di sekolah akan memulai pelajaran dengan senang. Melalui acara ini, semua orang tua siswa, baik yang lama maupun yang baru, memulai saling berkenalan satu dengan yang lain, dapat dimulai berbincang-bincang tentang program dan kegiatan yang mungkin akan diusulkan kepada sekolah.[4]
D.  Membangun Media Komunikasi antara Sekolah dengan Orang Tua dan Masyarakat.
Untuk mengubah wajah dan kiprah sekolah menjadi sekolah efektif dan produktif, kepala sekolah tidak akan dapat berjalan sendirian. Sekolah, keluarga, dan masyarakat merupakan tripusat pendidikan (Ki Hajar Dewantara). Dalam melaksanakan tugasnya sekolah tidak boleh tidak harus menggandeng keluarga dan masyarakat. Untuk dapat menjalin hubungan secara timbal balik dan kerja sama antara sekolah dengan keluarga dan masyarakat, maka sekolah harus memiliki media komunikasi.
Sam Redding, dalam tulisannya bertajuk “Parents and Learning”, dalam bookletn yang diterbitkan oleh International Academy of Education, International Beaureau of Education,UNESCO, dijelaskan beberapa bentuk media komunikasi antara sekolah dengan keluarga dan masyarakat sebagai berikut:
1.      Pertemuan Orang Tua, Guru dan Siswa
Melalui media pertemuan seperti ini, orang tua siswa dan guru dapat saling menyampaikan keluh kesah,masalah, dan gagasan, serta masukan untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran di sekolah. Kegiatan semacam ini sangat diperlukan untuk terus menumbuhkan rasa kebersamaan dan kepercayaan antara masing-masing pihak. Dari acara pertemuan tersebut, orang tua siswa dapat mengetahui secara lebih jelas apa saja yang dilakukan oleh anak-anaknya, tugas-tugas apa yang harus dilaksanakan, dan masalah-masalah yang mungkin akan dihadapi oleh anak-anaknya. Bagi kepala sekolah dan guru juga akan dapat mengetahui secara lebh jelas, misalnya  kebiasaan belajar siswa di rumah, apakah di rumah memang telah ada kebiasaan membaca (reading habit).
2.      Rapor atau Laporan Pendidikan
Hasil belajar siswa dilaporkan kepada orang tua melalui buku yang disebut sebagai Buku Rapor atau Buku Laporan Pendidikan. Sekolah perlu mengadakan acara penerimaan buku rapor. Dalam acara ini, guru kelas atau wali kelas harus menjelaskan pada orang tua siswa tentang hasil belajar para siswa, dan masalah-masalah lain yang terkait dengan hasil belajar siswa tersebut. Guru juga harus menjelaskan apa makna angka-angka dan catatan yang diulis dalam buku rapor tersebut, serta apa yang harus dilakukan oleh orang tua.
3.      Newsletter
Untuk meningkatkan hubungan timbal balik antara sekolah dan keluarga, sekolah dapat meminta orang tua siswa untuk menyumbangkan tulisan yang akan dimuat dalam newsletter, misalnya  tulisan tentang pengalaman orang tua siswa dalam membantu anaknya dalam mengerjakan PR, pengalaman orang tua ketika mengadakan rekreasi keluarga berkunjung ke museum atau tempat-tempat bersejarah, atau tempat-tempat yang bernilai pendidikan.
Newsletter juga dapat digunakan sebagai media untuk melaporkan kegiatan sekolah kepada  orang tua siswa. Sekolah Dasar Gibbs Street di Australia Barat bersama dengan Komite Sekolah membuat semacam brosur dan booklet untuk melaporkan kegiatan sekolah selama setahun. Ini merupakan salah satu bentuk akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat.
4.      Papan Pengumuman untuk Orang Tua dan Masyarakat
Papan pengumuman merupakan media yang cukup efektif untuk menyampaikan  berbagai data dan informas tentang sekolah. Bahkan, papan pengumuman tersebut juga dapat digunakan untuk mengaca diri, untuk melihat wajah sekolah kita. Apa saja kegiatan yang sedang terjadi di sekolah. Apa saja yang harus diketahui oleh warga sekolah tentang berbagai kegiatan di sekolah kita. Bahkan, setiap orang tua atau anggota masyarakat datang ke sekolah, diharapkan mereka juga dapat mengetahui apa saja kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak yang bersekolah. Lebih dari itu, papan pengumuman sekolah dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa sistem manajemen yang diterapkan di sekolah adalah open management atau manajemen terbuka. APBS di sekolah ini memang dipasang di papan pengumuman sekolah, dan oleh karena itu semua warga sekolah, orang tua siswa, dan warga masyarakat memperoleh informasi secara terbuka berapa anggaran yang dikelola sekolah, dan berapa yang akan dibelanjakan untuk kegiatan.[5]
E.  Meningkatkan Peran Dunia Usaha dan Dunia Indutri (DUDI)
Dibandingan dengan institusi birokrasi yang ada, lembaga bisnis yang amat kita kenal sebagai DUDI memliki karakteristik sebagai institusi yang sangat berorientasi kepada aspek kualitas, dan aspek keuntungan. Institusi dunia pendidikan dapat mengubah budaya kerjanya tanpa membuka pengaruh dari DUDI yang telah berorientasi pada budaya kerja yang efektif dan efisien, ketiga elemen tripusat pendidikan harus dalam sinergi untuk meningatkan layanan yang bermutu, akan dihasilkan lulusan yang bermutu, dan dengan lulusan yanng bermutu itulah yang kemudian direkrut oleh DUDI untuk menjadi SDM yang bermutu yang akan mengabdikan diri untuk DUDI.[6]     
                    

                                                                                                                    

















[1]Mulyono, MA, Manajemen Administrasi Pendidikan & Organisasi Pendidikan, (Cet. I: Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 258-260.
[2]Suparlan, Membangun Sekolah Efektif, (Cet. I; Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2008), h. 205.
[3]Suparlan, Membangun Sekolah Efektif, h. 212-215.
[4]Suparlan, Membangun Sekolah Efektif, h. 216-217.
[5]Suparlan, Membangun Sekolah Efektif, h. 224-228.
[6]Suparlan, Membangun Sekolah Efektif, h. 232-233.

Rabu, 04 Desember 2019

MAKALAH TIPELOGI KEPEMIMPINAN



“Tipelogi Kepemimpinan”
Mata Kuliah Kepemimpinan Pendidikan
Oleh kelompok 4
Ashar Zaini 02173099
Mincerianti 02173093
Manajemen Pendidikan Islam Kelompok 5 Semester 3
Institut Agama  Islam Negeri (IAIN) Bone

I.  PEMBAHASAN
A.  Tipe-tipe kepemimpinan
1.      Berdasarkan gaya
a.       Kepemimpinan otokratis
Gaya Kepemimpinan Otokratis, yaitu gaya kepemimpinan yang menggunakan kekuatan jabatan dan kekuatan pribadi secara otoriter, melakukan sendiri semua perencanaan tujuan dan pembuatan keputusan dan memotivasi bawahan dengan cara paksaan, sanjungan, kesalahan dan penghargaan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dilihat dari persepsinya seorang pemimpin yang otokratik adalah seorang yang sangat egois. Seorang pemimpin yang otoriter akan menunjukkan sikap yang menonjol ”keakuannya”. Seorang pemimpin yang otokratis ingin memperlihatkan kekuasaannya dan ingin berkuasa. Ia berpendapat bahwa tanggung jawabnya sebagai pemimpin besar sekali. Hanya dialah yang bertanggung jawab dalam kepemimpinannya, maju mundurnya sekolah yang dipimpinnya sangat bergantung kepadanya.  Sehubungan dengan itu, dengan bekerja keras, teliti, dan tertib, ia menghendaki dan mengharapkan agar bawahannya juga harus bekerja keras dan bersungguh-sungguh. Ia takut dan cemas kalau pekerjaan yang dilakukan bawahannya tidak sesuai yang diharapkannya. Oleh sebab itu pengawasannya sangat ketat.
Suasana di sekolah sealu tegang, intruksi-intruksi yang diberikan harus dipatuhi, dialah yang membuat peraturan yang harus ditaati, dia pula  yang mengawasi dan menilai pekerjaan bawahannya. Guru-guru tidak diberi kesempatan untuk berinisiatif dan mengembangkan daya kreatifnya, dia sangat menentukan apa yang harus dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannnya. Apa menurut pendapatnya benar itulah yang benar, pendapat itu tidak dapat dibantah oleh guru-guru.
b.      Kepemimpinan Pseudo-Demokratis
Seorang pemimpin yang bersifat pseudo-demokratis sering memakai “topeng”. Ia pura-pura memperlihatkan sifat demokratis di dalam kepemimpinannya, ia memberi hak dan kuasa kepada guru-guru untuk menetapkan dan memutuskan sesuatu, tetapi sesungguhnya ia bekerja dengan perhitungan. Ia mengatur siasat agar kemauannya terwujud kelak.
Dengan tingkah laku, bahasa yang dipakai, dan sikapnya,  ia ingin memberi kesan bahwa ia adalah pemimpin yang sungguh-sungguh demokratis. Demikian pula dengan pekerjaan di sekolah, ia berusaha supaya di dalam pergaulan disenangi dan disegani. Ia sangat sopan dan sealluingin memberi pertolongan kepada bawahannya. Jika diminta; tetapi sifat-sifat dan sikap itu ditonjolkan dengan maksud supaya mendapat kepercayaan dari pihak guru yang dikasihinya.
Masalah-masalah yang dihadapi di sekolah diperbincangkan terlebih dahulu dengan guru-guru yang berpengaruh sebelum dibawa ke dalam sidang dewan gutru-guru. Ia yakin bahwa setiap usul yang bertentangan dengan perbincangan dan putusan bersama guru-guru itu pasti akan ditolak di dalam rapat. Acara rapat dewan guru disusun oleh suatu panitia yang bekerja sama dengan kepala sekolah. di dalam rapat ia banyak memberi kesempatan kepada guru untuk mengemukakan pendapat dan saran.
c.       Kepimpinan Laissez-Faire
Pemimpin yang bersifat laisses-Faire menghendaki supaya bawahannya diberikan banyak kebebasan. Ia berpendapat “biarlah guru-guru bekerja sesuka hatinya, berinisiatif dan menurut kebijaksanaan sendiri. Berikan kepercayaan kepada mereka, hargailah usaha-usaha mereka masing-masing, jangan menghalang-halangi mereka dalma pekerjaan, dan mereka tidak usah diawasi dalam melaksanakan tugas. Segala sesuatu pasti akan beres.”
Ia yakin bahwa guru-guru akan bekerja dengan kegembiraan. Pemimpin tipe ini bekerja tanpa rencana. Dia berpendapat bahwa suatu rencana akan mengekang kebebasan guru, oleh karena itu bimbingan pun tidak diberikan kepada mereka. Karena ia membiarkan guru-guru bekerja sesuka hatinya, pekerjaan mereka tentu tidak teratur. Karena pekerjaan guru tidak teratur, pekerjaan secara keseluruhan di sekolah itu umumnya juga sangat tidak teratur dan kacau balau.
d.      Kepemimpinan demokratis
Kepemimpinan gaya demokratis adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan ditentukan bersama antara pimpinan dan bawahan.
Macam kepemimpinan yang baik sesuai dewasa ini ialah kepemimpinan demokratis. Semua guru di sekolah bekerja untuk mencapai tujuan bersama. Semua putusan diambil melalui musyawarah dan mufakat serta harus ditaati. Pemimpin menghormati dan menghargai pendapat tiap-tiap guru dan memberi kesempatan kepada guru-guru untuk mengembangkan inisiatif dan daya kreatifnya. Pemimpin mendorong guru-guru dalam hal mengembangkan keterampilannya bertalian dengan usaha-usaha mereka untuk mencoba suatu metode yang baru, misalnya metode yang akan mendatangkan manfaat bagi perkembangan pendidikan dan pengajaran  di sekolah.
Pemimpin demokratis tidak melaksanakan tugasnya sendiri. Ia bersifat bijksana di dalam pembagian pekerjaan dan tanggung jawab. Dapat dikatakan bahwa tanggung jawab terletak pada pundak dewan guru seluruhnya termasuk pemimpin sekolah. ia bersifat ramah-tamah dan selalu bersedia memolong bawahannya dengan memberi nasihat, anjuran, serta petunjuk jika dibutuhkan. Ia menginginkan supaya guru-gurunya maju dan berusaha mencapai kesuksesan dalam usaha mereka masing-masing. Di dalam kepemimpinannya, ia  berusaha supaya bawahannya kelak dapat menjalankan tugasnya sebagai pemimpin.
Di bawah kepemimpinannya guru-guru bekerja dengan suka cita untuk memajukan pendidikan sekolah. Semua pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah dipikirkan dan disepakati bersama. Akhirnya, terciptalah suasana kekeluargaan yang sehat dengan menyenangkan. Pemimpin sekolah dianggap sebagai seorang bapak, saudara, atau kakak yang dapat menempatkan diri sesuai dengan kondisi dan keadaan lingkungannya.[1]
e.       Kepimimpinan kharismatik
Kepemimpinan kharismatik (charismatic leadership): Kharisma diartikan “keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan kemampuan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya” atau atribut kepemimpinan yang didasarkan atas kualitas kepribadian individu.
Tipe kepemimpinan karismatik dapat diartikan sebagai kemampuan menggunakan keistimewaan atau kelebihan sifat kepribadian dalam mempengaruhi pikiran, perasaan dan tingkah laku orang lain, sehingga dalam suasana batin mengagumi dan mengagungkan pemimpin bersedia berbuat sesuatu yang dikehendaki oleh pemimpin. Pemimpin disini dipandang istimewa karena sifat-sifat kepribadiannya yang mengagumkan dan berwibawa. Dalam kepribadian itu pemimpin diterima dan dipercayai sebagai orang yang dihormati, disegani, dipatuhi dan ditaati secara rela dan ikhlas. Kepemimpinan kharismatik menginginkan anggota organisasi sebagai pengikutnya untuk mengadopsi pandangan pemimpin tanpa atau dengan sedikit mungkin perubahan.
2.      Berdasarkan Kondisi Sosio-Psikologis
a.       Pemimpin Kelompok (Leader of Crowds)
Dalam kamus New World of Dictionary (1956) crowd diartikan sebagai “an assembly of persons in close proximity or densely packed together and may suggest lack of order, loss of personal identity, etc”. Dengan demikian, crowd adalah sekumpulan atau sekelompok orang yang berkerumun, di mana pada kelompok itu tidak ada identitas personal dan aturan yang terstruktur. Oleh karena tidak ada identitas diri maka kelompok atau kerumunan ini biasanya mudah disugesti atau diprovokasi untuk melakukan suatu kegiatan atau tindakan tertentu.
Tipe pemimpin ini pertama kali diperkenalkan oleh LeBon (1897, dikutip Bass, 1990). Menurut LeBon pemimpin kelompok adalah seseorang yang mampu secara persuasif meyakinkan, mendorong sampai dengan memaksa, dan menggerakkan sekumpulan orang sehingga orang-orang tersebut sepenuhnya bersedia mengikuti kemauannya atau bersedia melakukan tindakan atau kegiatan tertentu yang diinginkannya.
Pada perkembangan berikutnya, Conway (1915, dikutip Bass, 1990) membagi pemimpin kelompok ini ke dalam 3 (tiga) jenis seperti berikut:
1)      Crowd compeller, yaitu pemimpin kelompok yang menggerakkan sekumpulan orang dengan cara memaksa mereka mengikuti perintahnya.
2)      Crowd exponent, yaitu pemimpin kelompok yang menggerakkan sekumpulan orang dengan cara memberi contoh atau teladan.
3)      Crowd representative, yaitu pemimpin kelompok yang menggerakkan sekumpulan orang dengan cara menyuarakan aspirasi orang-orang tersebut atau menjadi representasi mereka.
b.      Pemimpin Siswa/Mahasiswa (Student Leaders)
Dalam kehidupan sehari-hari, pemimpin ini biasa kita kenal dengan nama ketua OSIS untuk tingkat siswa dan Ketua Senat atau Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) untuk tingkat mahasiswa. Secara garis besar, ada 5 (lima) jenis pemimpin siswa/mahasiswa sebagai berikut.
1)      The explorer president, yaitu pemimpin siswa/mahasiswa yang senang memperkenalkan sesuatu yang baru dan menyusun program-program kegiatan yang menantang.
2)      The take charge president, yaitu pemimpin siswa/mahasiswa yang senang mengambil tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah-masalah besar yang dihadapi.
3)      The organization president, yaitu pemimpin siswa/mahasiswa yang senang mengelola organisasi sesuai aturan dan selalu berusaha menegakkan aturan yang berlaku.
4)      the moderators, yaitu pemimpin siswa/mahasiswa yang egaliter, selalu mendiskusikan terlebih dahulu dengan seluruh anggota mengenai semua masalah yang dihadapi dan pemecahan masalah yang akan diambil.
5)      The standard bearers, yaitu pemimpin siswa/mahasiswa yang memimpin organisasinya sesuai apa adanya ketika dia menduduki posisi pemimpin pada organisasi tersebut tanpa ada upaya untuk mengubah atau mengembangkannya.
c.       Pemimpin Publik (Public Leaders)
Tipe pemimpin ini banyak dipengaruhi oleh tipe pemimpin yang pertama kali diperkenalkan oleh Pluto. Menurut Pluto, dilihat dari pemunculannya, pemimpin publik ada 3 (tiga) jenis seperti di bawah ini:
1)      Timocratic, yaitu pemimpin publik yang berkuasa atau naik menjadi pemimpin karena dia adalah figur yang dihormati atau berasal dari keluarga terhormat dan menjadi kebanggaan publik.
2)      Plutocratic, yaitu pemimpin publik yang berkuasa karena populer atau sangat disenangi publik.
3)      Tyrannical, yaitu pemimpin publik yang menjadi pemimpin karena koersi atau paksaan yang bisa dilakukan melalui kudeta, penjajahan, dan sebagainya.
d.      Pemimpin Perempuan (Women Leaders)
Dulu, masyarakat umum memandang perempuan sebagai simbol kecantikan dan pengarah mode pakaian, meskipun pada kenyataannya sudah banyak sekali perubahan yang terjadi pada kaum perempuan. Saat ini, perempuan sudah berkiprah dan mengisi pekerjaan-pekerjaan pada masyarakat seperti halnya kaum laki-laki.
Meskipun sudah lama dan sudah banyak pemimpin perempuan, masyarakat masih melekatkan stereotip negatif pada pemimpin perempuan. Hammer (1978, dikutip Bass, 1990) mencatat adanya 4 (empat) stereotip negatif tersebut seperti di bawah ini:
1)      The earth mother; pemimpin perempuan selalu memperlakukan anak buahnya laiknya anak-anaknya yang perlu dirawat dan disuapi sehingga seolah-olah tidak memiliki kepercayaan kepada anak buahnya.
2)      The manipulator; pemimpin perempuan senang memanipulasi orang lain dengan menggunakan keperempuanannya atau kecantikannya.
3)      The workaholic; pemimpin perempuan tidak mampu mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab, semuanya cenderung dikerjakan sendiri walaupun sebagai risikonya dia harus bekerja sampai larut malam, bahkan berhari-hari tidak pulang ke rumah.
4)      The egalitarian; pemimpin perempuan tidak suka menunjukkan kekuasaannya, tetapi lebih suka menganggap anak buahnya sebagai teman atau kolega.
3.      Berdasarkan kepribadian
a.       Extrovert - Introvert
Orang yang memiliki kecenderungan tipe kepribadian extrovert lebih terbuka, senang berteman, dan menyukai aktivitas fisik yang bervariasi. Orang yang memiliki kecenderungan kepribadian introvert sebaliknya, lebih cenderung tertutup, suka bekerja sendiri atau hanya dengan sedikit orang, dan lebih menyukai aktivitas nonfisik yang bersifat ide atau konsep.
b.      Sensing - Intuitive
Orang yang memiliki kecenderungan tipe kepribadian sensing lebih berorientasi pada fakta, sesuatu yang pasti, dan detil. Sementara orang yang memiliki kecenderungan tipe kepribadian intuitive lebih suka hal-hal yang bersifat ide, konsep, dan sesuatu yang bersifat mungkin.
c.     Thinking - Feeling
Orang yang memiliki kecenderungan tipe kepribadian thinking lebih suka sesuatu yang rasional, logis, dan senang menganalisis. Sementara orang yang cenderung bertipe feeling lebih menilai tinggi perasaan dan harmoni.
d.     Judging - Perceiving
Orang yang memiliki kecenderungan tipe kepribadian judging lebih suka mengambil keputusan secara cepat untuk segera berpindah pada masalah lainnya. Orang yang bertipe kepribadian perceiving lebih suka menunda pengambilan keputusan untuk memperoleh solusi yang lebih tepat.[2]
B.     Syarat Pemimpin Pendidikan
Sifat-sifat apa yang perlu dimiliki pemimpin pendidikan? Sesuai dengan the personal qualities theory of leadrship  yan telah dibicarakan, diantara banyak ahli yang sudah mengadakan penyeledikan dalam bidang ini, ada yang mengemukakan empat, enam, delapan, sepuluh, dua belas, empat belas, dan ada juga dua ratus sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin. Hasil penyelidikan Tead  (1935) dianggap penting bagi kepimpinan pendidikan. Ia menyarankan sifat  pemimpin sebagai berikut:
1.      Memiliki kesehatan jasmaniah dan rohaniah yang baik.
2.      Berpegang teguh pada tujuan yang hendak dicapai.
3.       Bersemangat.
4.      Jujur.
5.      Cakap dalma memberi bimbingan.
6.      Cepat serta bijaksana dalam mengambil keputusan.
7.      Cerdas.
8.      Cakap dalam hal mengajar dan menaruh kepercayaan kepada yang baik dan berusaha mencapainya.
Arti bekerja dalam lapan pendidikan, pendidikan dan pengajaran semata-mata bekerja dengan dan untuk orang lain. bekerja sama merupakan suatu bagian yang penting sekali dalam kehidupan.
Kebersamaan itu merupakan warisan dari nenek  moyang bangsa indonesia yang telah ditegaskan dalam falsafah negara kita Pancasila. Kebersamaan itu harus diwujudkan oleh orang yang merasa terpanggil untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai pemimpin pendidikan. Jika seorang pemimpin pendidikan bekerja sama dengan bawahannya secara efektif, maka akan tumbuh dan berkembang profesionalisme dan hubungan pribadi (personal relationships) yang sangat dibutuhkan di dalma pelaksanaan tugas. Dalam pelaksanaan tugas setiap hari, pemimpin pendidikan dan yang dipimpin selalu berhadapan langsung. Dengan demikian, hubungan pribadi itu dapat meningkat menjadi hubungan batin yang berlangsung secara terus menerus.
Di samping pemahaman terhadap diri sendiri, hubungan antarmanusia merupakan faktor penting dalam bekerja sama.mengenal diri sendiri dan mengerti orang lain yang dipimpin merupakan dasar bagi penetapan dan pemeliharaan hubungan antarpribadi.
Alangkah baiknya apabila syarat-syarat kepemimpinan tersebut ditunjang juga oleh keahlian dalam profesinya yang mencakup penguasaan pengetahuan (terutama dalam bidangnya), pengalaman, dan keterampilan yang dimilikinya.[3]
C.    Keterampilan Kepemimpinan Pendidikan
Telah kita ketahui bersama bahwa dalam melaksanakan kepemimpinan hendaklah kita gunakan pengetahuan, pengalaman, dan sifat kepemimpinan. Sehubungan dengan itu, kita dituntut memiliki kemahiran dan keterampilan dalam mengelola lembaga pendidikan:
1.      Keterampilan memimpin
Telah kita ketahui juga bahwa jenis kepemimpinan yang baik ialah kepemimpinan yang demokratis. Pengetahuan tentang tipe kepemimpinan  itu saja tidak cukup menjamin seseorang menjadi pemimpin demokratis yang baik, karena dalam pelaksanaannya diperlukan berbagai keterampilan .
Agar semua terwujud, dibutuhkan banyak pengalaman. Seorang pemimpin pendidikan harus banyak bergaul dan pandai bekerja sama. Ia juga harus mahir dan cakap dalam berbagai hal seperti :
a.       Menciptakan suasana pekerjaan yang sehat dan menyenangkan.
b.      Membentuk dan membina moral yang tinggi bagi bawahannya.
c.       Menentukan tujuan pendidikan bersama anggota kelompok dan berusaha mencari jalan keluar untuk mencapainya.
d.      Menyusun rencana pekerjaan bersama anggota kelompok.
e.       Memberi semangat dan dorongan kepada anggota kelompok untuk menghasilkan sesuatu yang baik dapat melancarkan pekerjaan.
2.      Keterampilan menjalin hubungan kerja dengan sesama manusia
Seorang pemimpin yang baik harus banyak pengetahuan dan pandai. Agar dapat mengerti bawahannya dengan baik, hendaklah ia harus mengadakan hubungan yang baik, terutama dengan dirinya sendiri.
Seorang pemimpin pendidikan harus mahir dan cakap dalam berbagai hal anatara lain sebagai berikut:
a.       Menanamkan dan memupuk sifat harga-menghargai, percaya-memercayai, hormat-menghormati, indah-mengindahka, dan maaf-memaafkan.
b.      Mengembangkan rasa percaya diri.
c.       Mengoordinir aktivitas kelompok.
d.      Menghindari sikap yang meremehkan kesanggupan anggota kelompok.
3.      Keterampilan menguasai kelompok
Sebagian tujuan pendidikan ditujukan pada perasaan kelompok. Anggota kelompok harus saling menyukai, menghormati, dan memercayai. Mereka yakin bahwa setiap orang dalam kelompok dapat bertanggung jawab sepenuhnya. Jika tidak, ia tidak akan melakukan usaha bersama.
Sebagian proses memimpin ialah menolong guru mengembangkan sikap dan kariernya. Hal itu merupakan langkah pertama menuju group self discipline.
Jika disiplin kelompok terwujud, pemimpin dapat meningkatkan partisipasi anggota kelompok semaksimal mungkin, sehingga potensi setiap anggota dapat dimanfaatkan seefektif mungkin. Untuk itu, pemimpin harus mahir dan  cakap dalam hal berikut:
a.       Mengenal mengetahui kekuatan, kelemahan, dan kekurangan stafnya.
b.      Menanamkan serta memelihara sikap percaya-mempercayai dalam kelompok.
c.       Menanamkan dan membina disiplin kelompok.
d.      Menanamkan dan memupuk sifat bersedia menolong antara anggota kelompok.
4.      Keterampilan mengelola administrasi personalia
Kepala sekolah harus berusaha mempertinggi mutu pekerjaan guru. Ia harus berusaha juga menukarkan pengalaman berharga bagi para guru dalam memegang jabatan. Ia juga harus mencoba menempatkan guru dalam posisi yang tepat sehingga  mereka merasa senang dan potensi yang ada pada diri mereka dapat dimanfaatkan. Agar pelaksanaan pendidikan dapat dipertanggungjawabkan, pemimpin sekolah dalam menyeleksi dan  menempatkan guru harus menggunakan cara “the right man in the  right place.
Untuk itu pemimpin harus mahir dan cakap dalam hal-hal berikut :
a.       Memilih dan mengangkat guru yang dibutuhkan untuk mengajar suatu kelas, tingkkat, atau fakultas tertentu.
b.      Menciptakan suasana kerja yang hormonis sehingga tujuan pendidikan dapat dicapai semaksimal mungkin.
c.       Memberi tugas yang sesuai dengan kemampuan masing-masing.
d.      Merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang dapat meningkatkan mutu/pendidikan.
5.      Keterampilan memberikan penilaian.
Telah diterangkan bahwa seorang kepala sekolah setiap waktu harus berusaha supaya anggota klompoknya dapat meningkatkan prestasinya. Hal itu tidak hanya melalui penataran, misalnya yang dapat memperbaiki situasi belajar mengajar di sekolah, tetapi juga melalui self evaluation. Guru-guru dibantu dalam menilai pekerjaannya. Diharapkan melalui cara seperti itu guru akan mengetahui kekuatan atau kelebihannyaa di samping kekurangannya.
Agar berhasil melaksanakan hal tersebut, hendaknya kepala sekolah berusaha supaya mahir dan cakap dalam hal berikut :
a.       Menentukan dan merumuskan tujuan penilaian..
b.      Menetukan kriteria yang akan digunakan untuk menilai.
c.       Mengumpulkan data yang dapat diolah menurut kriteria yang telah ditentukan.
d.      Menstimulasi “intervisitaion” sebagai suatu metode untuk memperoleh lebh banyak data yang dapat dipakai dalam penilaian. [4]
D.    Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Pendidikan Yang Berdasarkan Demokrasi Pancasila
1.      Prinsip pengendalian diri
Setiap orang tidak terlepas dari kerja sama dengan orang lain. dalam suasana kerja sama itu diperlukan saling pengertian, saling menghargai, dan saling tenggang rasa. Hal ni akan menumbuhkan sikap dasar untuk menciptakan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam hubungan kemanusiaan antara yang dipimpin dan yang memimpin. Pengendalian ini pada hakikatnya bersumber dari pengenalan pada diri sendiri. Pengenalan diri tidak hanya pada aspek biologi/jasmaniah, tapi aspek-aspek yang bersumber dari aspek-aspek kejiwaan. Dari sanalah seseorang akan kenal kepada Allah swt. Untuk memahami langkah-langkah penganalisisan diri dalam rangka pengenalan diri sendiri, maka perlu pedoman dengan pertanyaan sebagai berikut:
a.       Apa yang terjadi ? (fenomena hasil kelakuan saya).
b.      Mengapa kelakuan saya demikian? (mengalisis kelemahan dan kekuatan/hal-hal positif yang ada pada diri saya).
c.       Bagaimana saya harus memperbaiki hal-hal yang negatif dan bagaimana saya harus memupuk hal-hal/sifat yang baik?
d.      Bilamana dan di mana saya harus memperbaiki sifat-sifat negatif dan menumbuhkan sifat-sifat yang positif?.
Kalau kita secara kontinu melatih diri dengan langkah-langkah di atas, maka kita akan dapat mengendalikan diri dengan kata dan perbuatan dan berusaha melestarikannya dalam menunaikan tugas kewajiban di dalam masyarakat dengan membuahkan keteladanan perilaku, yang berarti ing ngarso sung tulodo.
2.      Prinsip partisipasi
Pemimpin dengan berbagai usaha mencoba membangkitkan dan memupuk subur kesadaran setiap stafnya agar mereka merasa dan rela ikut bertanggung jawab, dan selanjutnya secara aktif kut serta memikirkan dan memecahkan masalah-masalah yang menyangkut perencanaan dan pelaksannaan program pendidikan dan pengajaran. Berhasilnya pemimpin dalam menimbulkan minat, kemauan, dan kesadaran bertanggung jawab pada setiap staf akan meningkatkan partisipasi mereka, bahkan diperluas pada individu di luar staf yang ada hubungan langsung dan tidak langsung dengan penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran pada lembaga kerjanya .
Selanjutnya jika mereka menunjukkan partisipasi secara aktif, berarti satu fungsi kepemimpinan telah dapat dilaksanakannya dengan baik, hal ini berarti ing madyo mangun karso.
3.      Prinsip koperasi
Adanya partisipasi dari para staf belum berarti bahwa kerja sama di antara mereka telah terjalin dengan baik. Partisipasi yang sempat bisa terjadi dalam bentuk spesialisasi tugas-tugas wewenang dan tanggung jawab secara ketat di antara anggota-anggota. Setiap anggota seolah-olah berdiri sendiri dan berpegang teguh pada tugas-tugas, tanggung jawab, dan wewenang pada diri mereka masing-masing.
Kerja sama untuk kepentingan bersama hendaknya berlangsung seluas-luasnya, meliputi setiap orang yang ada sangkut pautnya dengan usaha pendidikan dan pengajaran di sekolah tersebut. Hal ini merupakan buah dari ing madyo mangun karso.
4.      Prinsip hubungan kemanusiaan secara kekeluargaan.
Hubungan kemanusiaan merupakan pelicin jalan ke arah pemecahan setiap masalah yang timbul dan sulit dipecahkan. Pemimpin harus menjadi sponsor utama bagi terbinanya hubungan-hubungan sosial dan situasi pergaulan seperti di atas. Pemimpin tidak berlaku sebagai majikan atau mandor terhadap pegawai atau buruhnya, tetapi ia sejauh mungkin menempatkan diri sebagai sahabat terdekat dari semua staf di sekolah. Hubungan kemanusiaan dengan orang di luar sekolah perlu ditingkatkan pula.
Hubungan-hubungan kemanusiaan serta hubungan kerja sama semacam ini tidak akan terjadi kecuali dalam suatu kelompok di mana kepemimpinannya yang hidup di dalamnya dijiwai oleh semangat demokrasi Pancasila. Hal ini berarti ada motivasi dari pemimpin yang tut wuri handayani.
5.      Prinsip pendelegasian dan pemencaran kekuasaan dan tanggung jawab.
Dalam kepemimpinan pendidikan, pemimpin harus percaya bahwa mereka dapat bekerja serta memiliki kemampuan dan potensi yang maksimal yang dapat bermanfaat bagi sekolah. hal itu akan terjadi asalkan situasi dan kesempatan untuk berbuat kreatif dijamin oleh pemimpin. Keyakinan seperti inilah yang melandasi kesediaan pemimpin untuk melaksanakan pendelegasian dan pemencaran wewenang, kekuasaan, dan tanggung jawab tertentu kepada sekolah.
Melalui delegation and sharing of authority and responsibility yang tepat, serasi, dan merata, moral kerja akan ikut terbina secara sehat, semangat kerja dan perasaan tanggung jawab atas akan bangkit dan tumbuh dengan subur. Melalui cara ini, perkembangan pribadi dan jabatan staf akan terangsang untuk bertumbuh secara kontinu. Dengan cara ini, pemimpin mendapat kesempatan untuk mengetahui, menemukan, dan selanjutnya membina kader-kader pimpinan yang potensial di kalangan anggota stafnya. Pembinaan kepemimpinan melalui latihan dalam bentuk pendelegasian dan pemencara kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab merupakan cara yang paling praktis di samping usaha pembinaan lainnya. Cara pendekatan seperti  itu sangat bermanfaat bagi kepentingan kepemimpinan pendidikan demokrasi Pancasila yang lebih bermutu di masa depan. Hal ini berarti sebagai indikator adanya keterpaduan trilogi kepemimpinan pendidikan demokrasi Pancasila.
6.      Prinsip kelenturan (flexibility) organisasi dan tata kerja
Organisasi dan tata kerja disusun dengan maksud mengatur kegiatan dan hubungan-hubungan kerja yang harmonis, efisien, dan efektif. Karena itu hendaknya struktur organisasi dan hubungan serta tata kerja jangan sampai menjadi sesuatu yang sangat kaku, sehingga membawa akibat-akibat negatif yang bisa menghambat kegiatan penerapan dan pelaksanaan program.
Kelenturan organisasi menjamin organisasi dan hubungan-hubungan kerja yang sesuai dengan kenyataan-kenyataan dan masalah yang selalu muncul dan berubah terus menerus. Perubahan-perubahan itu dari hubungan-hubungan kemanusiaan dalam anggota staf.
7.      Prinsip kreativitas
Pertumbuhan dan perkembangan suatu lembaga pendidikan di samping faktor material dan fasilitas lainnya, juga tentang pertumbuhan dan perkembangan program dan aktivitas kerja. Aktivitas dan dinamika kerja sebagian besar berakar pada besar kecilnya kreativitas setiap personil dan pimpinan di dalam sekolah. keadaan selalu berubah, masyarakat selalu bergerak maju, ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang pesat dan mempengaruhi perubahan-perubahan dan kemajuan masyarakat itu, maka sekolah harus menjadi lembaga kerja yang kreatif dan dinamis. Setiap staf diberi kesempatan mengajukan ide-ide, pikiran-pikiran, dan konsepsi-konsepsi baru tentang prosedur, tata kerja, dan metode-metode mendidik dan mengajar yang lebih kreatif. Hal ini berarti fungsi tut wuri handayani berperanan besar. [5]

E.     Gaya kepemimpinan
1.      Gaya kepemimpinan kontinum
Gaya kepemimpinan kontinum dipelopori oleh Robert Tannenbaum dan Warren Schmidt. Kedua ahli menggambarkan gagasannya bahwa ada dua bidang pengaruh yang ekstrem , pertama bidang pengaruh pimpinan kedua bidang pengaruh kebebasan bawahan. Gaya kepemimpinan managerial grid dipelopori oleh Robert R Blake dan Jane S Mouton. Dalam pendekatan managerial grid ini, manajer berhubungan dengan 2 hal yakni produksi di satu pihak dan orang-orang di pihak lain. Managerial Grid menekankan bagaimana manajer memikirkan produksi dan hubungan manajer serta memikirkan produksi dan hubungan kerja dengan manusianya. Bukannya ditekankan pada berapa banyak produksi harus dihasilkan, dan berapa banyak ia harus berhubungan dengan bawahan.  Model Kepemimpinan Kontinum (Otokratis-Demokratis).
 Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994) berpendapat bahwa pemimpin mempengaruhi pengikutnya melalui beberapa cara, yaitu dari cara yang menonjolkan sisi ekstrim yang disebut dengan perilaku otokratis sampai dengan cara yang menonjolkan sisi ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku demokratis. Perilaku otokratis, pada umumnya dinilai bersifat negatif, di mana sumber kuasa atau wewenang berasal dari adanya pengaruh pimpinan. Jadi otoritas berada di tangan pemimpin, karena pemusatan kekuatan dan pengambilan keputusan ada pada dirinya serta memegang tanggung jawab penuh, sedangkan bawahannya dipengaruhi melalui ancaman dan hukuman. Selain bersifat negatif, gaya kepemimpinan ini mempunyai manfaat antara lain, pengambilan keputusan cepat, dapat memberikan kepuasan pada pimpinan serta memberikan rasa aman dan keteraturan bagi bawahan. Selain itu, orientasi utama dari perilaku otokratis ini adalah pada tugas.
Perilaku demokratis; perilaku kepemimpinan ini memperoleh sumber kuasa atau wewenang yang berawal dari bawahan. Hal ini terjadi jika bawahan dimotivasi dengan tepat dan pimpinan dalam melaksanakan kepemimpinannya berusaha mengutamakan kerjasama dan team work untuk mencapai tujuan, di mana si pemimpin senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritik dari bawahannya. Kebijakan di sini terbuka bagi diskusi dan keputusan kelompok. amun, kenyataannya perilaku kepemimpinan ini tidak mengacu pada dua model perilaku kepemimpinan yang ekstrim di atas, melainkan memiliki kecenderungan yang terdapat di antara dua sisi ekstrim tersebut.
Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994) mengelompokkannya menjadi tujuh kecenderungan perilaku kepemimpinan. Ketujuh perilaku inipun tidak mutlak melainkan akan memiliki kecenderungan perilaku kepemimpinan mengikuti suatu garis kontinum dari sisi otokratis yang berorientasi pada tugas sampai dengan sisi demokratis yang berorientasi pada hubungan.
2.      Gaya managerial grid
Menurut Blake dan Mouton, ada empat gaya kepemimpinan yang dikelompokan sebagai gaya yang ekstrem, sedangkan lainnya hanya satu gaya yang dikatakan di tengan-tengah gaya ekstrem tersebut. Gaya kepemimpinan dalam managerial grid itu antara lain sebagai berikut:
a.       Manajer sedikit sekali usahanya untuk memikirkan orang-orang yang bekerja dengan, dan produksi yang seharusnya dihasilkan oleh organisasinya.
b.      Manajer mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi untuk memikirkan baik produksi maupun orang-orang yang bekerja dengannya.
c.       Gaya kepemimpinan dari manajer ini ialah mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi untuk selalu memikirkan orang-orang yang bekerja dalam organisasinya tetapi pemikirannya mengenai produksi rendah.
d.      Kadangkala manajer disebut sebagai manajer yang menjalankan tugas secara otokratis.
e.       Manajer mempunyai sedikit pemikiran medium baik pada produksi maupun pada orang-orang.
3.      Tiga dimensi dari Reddin
Dipopulerkan oleh W.J REDDIN. Gaya ini menjadi dua yaitu gaya kepemimpinan efektif dan tidak efektif. Ada empat gaya dalam gaya yang efektif ini antara lain:
a.       Eksekutif
b.      Pecinta pengembangan (developer).
c.       Otokratis yang baik (benevolent autocrat).
d.      Birokrat.
Gaya kepemimpinan yang tidak efektif. Ada empat gaya kepemimpinan yang tergolong tidak efektif antara lain:
a.       Pencinta kompromi (compromiser).
b.      Missionary
c.       Otokrat
d.      Lari dari tugas (deserter).
4.      Empat Sistem Manajemen Dari Likert
Gaya yang amat menarik ialah pendapar Rensis Likert ini. Dalam serangkaian penelitiannya Likert telah mengembangkan suatu ide dan pendekatan yang penting untuk memahami perilaku pemimpin. Menurut Likert bahwa pemimpin itu dapat berhasil jika bergaya participant management. Gaya ini menetapkan bahwa keberhasilan pemimpin adalah jika berorientasi pada bawahan, dan mendasarkan pada komunikasi. Likert merancang 4 sistem kepemimpinan dalam manajemen sebagai berikut :
a.       Manajer dalam hal ini sangat otokratis mempunyai sedikit kepercayaan kepada bawahannya.
b.      Dalam system ini pemimpin dinamakan Otokratis yang baik hati (benevolent authoritative).
c.       Dalam system ini gaya kepemimpinan lebih dikenal dengan sebutan manajer konsultatif.
Oleh Likert system ini dinamakan pemimpin yang bergaya kelompok berpartisipatif (partisipative group. Dalam hal ini manajer mempunyai kepercayaan yang sempurna terhadap bawahannya.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kepemimpinan dibagi berdasarkan :              
1. Berdasarkan gaya
a.       Kepemimpinan otokratis
b.      Kepemimpinan pseudo-demokratis
c.       Kepemimpinan laissez-faire
d.      Kepemimpinan demokratis
e.       Kepimpinan kharrismatik
2. Berdasarkan sosio-psikologis
a. pemimpin kelompok 
b. pemimpin siswa/mahasiswa (student leader)
c. pemimpin publik (pablic leader)
d.  pemimpin perempuan (woman leader)
3. Berdasarkan kepribadian
a. extrovert-introvert
b. sensing-intuitive
c. thinking-feeling
d. judging-perceiving
Syarat pemimpin pendidikan :
1.      Memiliki kesehatan jasmaniah dan rohaniah yang baik.
2.      Berpegang teguh pada tujuan yang hendak dicapai.
3.       Bersemangat.
4.      Jujur.
5.      Cakap dalma memberi bimbingan.
6.      Cepat serta bijaksana dalam mengambil keputusan.
7.      Cerdas.
8.      Cakap dalam hal mengajar dan menaruh kepercayaan kepada yang baik dan berusaha mencapainya.
Keterampilan kepemimpinan pendidikan
1.      Keterampilan memimpin.
2.      Keterampilan menjalin hubungan kerja dengan sesama manusia.
3.      Keterampilan menguasai kelompok.
4.      Keterampilan mengelola administrasi personalia.
5.      Keterampilan memberikan penilaian.
Prinsip-prinsip kepemimpinan pendidikan berdasarkan demokrasi pancasila:
1.      Prinsip pengendalian diri.
2.      Prinsip partisipasi.
3.      Prinsip koperasi.
4.      Prinsip hubungan kemanusiaan secara kekeluargaan.
5.      Prinsip pendelegasian  dan pemencaran kekuasaan dan tanggung jawab.
6.      Prinsip kelenturan (flexibility) organisasi dan tata kerja.
7.      Prinsip kreativitas.
Gaya kepemimpinan :
1.      Gaya kepemimpinan kontinum.
2.      Gaya managerial grid.
3.      Tiga dimensi dari reddin.
4.      Empat sistem manajemen dari likert.


[1]Soekarto Indrafachrudi, Bagaimana Memimpin Sekolah Yang Efektif (Bogor:Ghalia Indonesia, 2006), h. 17.

[2] Permadi K, Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Manajemen. (Rineka Cipta, 1996), h. 43.
[3] Soekarto Indrafachrudi, Bagaimana Memimpin Sekolah Yang Efektif (Bogor:Ghalia Indonesia, 2006), h. 22.
[4] Soekarto Indrafachrudi, Bagaimana Memimpin Sekolah Yang Efektif (Bogor:Ghalia Indonesia, 2006), h. 25.
[5] Soekarto Indrafachrudi, Bagaimana Memimpin Sekolah Yang Efektif (Bogor:Ghalia Indonesia, 2006), h. 10.

Resah dan Dilema

  Hai, untuk kali ini biarlah jari-jari sibuk mengetikkan namamu kukelabui dengan sebutan "Dia". Entah aku akan memulai dari mana ...